Minggu, 11 Maret 2012

Sunni-Syiah: Perbedaan Aqidah!


SELAMA ini banyak tokoh  yang menggembar-gemborkan bahwa perbedaan antara Sunni dengan Syiah terletak pada masalah madzhab. Ini pula yang dimuat oleh Harian Republika, Kamis (09/02/2012) dalam sebuah tulisan (Iklan terselubung) dengan judul, "MELAWAN POLITIK ADU DOMBA DENGAN PERSATUAN UMMAT).
Benarkah Sunni Syiah hanya berbeda masalah madhzab?
Untuk menjawab hal ini tentu kita perlu menilisik keyakinan kaum Syiah terhadap beberapa persoalan. Keyakinan mereka inilah yang dipersoalkan oleh jumhur ulama.
Di antara keyakinan sentral yang dikritisi oleh para ulama adalah masalah Imamiyah.
Ulama Sunni sepakat bahwa masalah Imamah terkait dengan keduniaan. Ia bukan bagian dari persoalan yang penting dalam urusan hukum Islam, sehingga ia bersifat fardhu kifayah.
Dalam hal ini Imam Al-Mawardzi berkata; “Apabila telah pasti kewajiban adanya sebuah imammah, maka hukumnya menjadi fardhu kifayah, sebagaimana hukum jihad dan menuntut ilmu.” [Abu Al-Hasan Ali Ibnu Muhammad  Habib Al-Mawardi,  Ahkamu Al-Sultaniyah wa Al-Wilayatu Ad-Dhiniyah, Al Firdaus, Beirut, 1989  M,  Jild. 1 hal. 4]
Berdasar hal ini Sunni berpendapat bahwa proses menangani dan membentuk Imamah terletak kepada umat. Pemilihan seseorang Imam dilakukan oleh dewan pemilihan (ahl al-ikhtiyar/ahlul aqdi wal halli) dan ditentukan para kandidat pemimpin. Orang-orang yang menjabat dalam dewan pemilihan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu, pertama, adil yang mencakup segala aspeknya. Kedua, memiliki ilmu pengetahuan yang bisa dipergunakan untuk mengetahui siapa yang betul-betul berhak untuk menjabat sebagai pemimpin sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Ketiga, memiliki pandangan yang luas dan kebijaksanaan agar betul-betul bisa memiliki siapa yang paling layak untuk menjabat sebagai pemimpin, yang paling memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengatur kemaslahatan umat. Karena itulah, pemimpin yang baik adalah seorang warga negara setempat yang betul-betul mengenal karakter dan kondisi negaranya.
Sedang Syiah Itsna Asy’ariyah memahami istilah Imamah atau yang juga disebut wilayah sebagai bagian dari ushuluddin, atau salah satu rukun dari rukun agama.
Mereka meyakini Imamah sebagai ajaran primer dalam teologi dan ideologi, serta berposisi sebagai doktrin sentral yang mutlak diyakini penganutnya. Karena itu Imamah di kalangan Syiah sudah menjadi doktrin dan bagian dari rukun iman dan Islam yang penting.
Dalam al-Kafi, al-Kulaini menulis riwayat yang diafiliasikan kepada Abu Ja'far sebagai berikut; "Islam didasari atas lima perkara yaitu shalat, zakat, haji, jihad dan wilayah. Tidak ada suatu pun yang diserukan sebagaimana diserukan wilayah." [Abi Ja’far Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, al-Kafi, Darul Kutub al-Islamiyyah, Teheran,  juz 2 hal. 18]
Imamah menurut Syiah adalah pengakuan terhadap kepemimpinan Ali bin Thalib dan keturunannya. Sebagaimana dikutip Muhammad Jawad al-Amili dalam “Miftakhul Karomati fi Syarh Qowaid Al-A’lamah”, Mu’asasah Nasrul Islam  Juz 2 hal.80, mengatakan:
“Iman menurut kami hanya terwujudkan dengan cara mengakui keimamahan Imam yang dua belas, kecuali bagi orang yang mati pada zaman salah satu dari mereka maka tidak disyaratkan beriman kecuali mengetahui Imam pada masanya dan masa sebelumnya.”
Al-Kulaini dalam kitabnya juga menyebutkan suatu riwayat, sebagai berikut: “Dari Abi Ja’far berkata:“…Tuntunlah orang yang sedang sakratul maut bacaan syahadat (persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah) dan wilayah (pengakuan atas kepemimpina Ali).” [Al-Kulaini Furu’ al-Kafi, 1/34]
Berdasar pemahaman ini,  Syiah mendudukkan Imamah pada urutan ke tiga dari rukun iman. Bahkan ajaran ini merupakan bagian paling mendasar yang seakan melebihi doktrin tauhid. Bangunan teologi mereka seluruhnya diperkuat dengan konsep ini.
Konsekwensi dari pemahaman ini yaitu amal setiap muslim akan sia-sia jika menolak wilayah atau Imamah Ahlul Bait. Segala amal perbuatannya tidak akan diterima Allah meskipun ia bersujud hingga patah tulang lehernya, jika tidak meyakini keimamamahan Imam Ali dan Ahlul Bait.
Dalam hal ini Al Kulaini menisbahkan sebuah riwayat dari Imam Ali Bin Thalib yang berkata:
“Tidak ada kebaikan di dunia kecuali satu dari dua orang, yaitu  seseorang yang selalu bertambah kebaikannya setiap hari dan seseorang yang menjelang kematiannya bertobat. Dan dimatikan dalam keadaan bertobat. Demi Allah sekiranya ia sujud hingga patah tulang lehernya, tidak akan diterima amalnya kecuali mengakui wilayah ahlul bait. [Al-Kulaini, Furu’u  Al Kafi, Juz VIII, hal.128]
Atas dasar inilah kemudian Syiah tidak segan untuk mengkafirkan kelompok lain yang tidak mengakui keimamahan Ali dan Imam-imam keturunannya. Al-Majlisi mengutip perkataan Al-Mufid dalam kitab Al-Masail yang menjelaskan tentang kesepakatan kaum Syi’ah dalam mengkafirkan umat Islam yang mengingkari Imam :
“Syi’ah Imamiyyah sepakat bahwa orang yang tidak meyakini keimamahan salah satu dari para Imam dan mengingkari apa yang telah diwajibkan Allah SWT kepadanya dari kewajiban taat (kepada para imam), maka dia kafir, sesat dan layak kekal di neraka.”
Al-Majlisi menukil kitab “Kanzul karaji” hal 112, yang berbunyi:
“Siapa yg mengingkari mereka (Imam 12) atau meragukan mereka, atau mengingkari salah satu diantara mereka atau meragukan, atau membantu musuh-musuh mereka, atau salah satu diantara musuh-musuh mereka, maka dia adalah orang yang sesat lagi celaka, bahkan orang yang kafir.”
Sikap mereka seperti itu karena keyakinan terhadap Imamah merupakan sesuatu yang mutlak sehingga barangsiapa yang mengingkarinya berarti kafir dan darahnya halal untuk dibunuh.
Model keyakinan seperti ini menjadi sumber epistemologi yang penting dalam bangunan keyakinan Syiah. Menurut mereka, siapapun yang beriman kepada Allah namun tidak beriman terhadap kepemimpinan Sayyidina Ali setelah Nabi SAW dan para Imam keturunan beliau, maka hukumnya sama dengan musyrik.
Ini karena menurut mereka, Allah yang menetapkan dan memilih para Imam, sehingga iman kepada para Imam adalah sebuah keharusan. Karena itu barangsiapa yang tidak mengakui Imamah maka matinya dalam kondisi jahiliyah. Dalam hal ini al-Kulaini dalam kitab Al-Kafi mengatakan:
“Barang siapa mati tidak mengetahui imam zamannya maka matinya mati jahiliyah.” [Al Kulaini, Al Kafi Juz I hal. 377]
Doktrin ini oleh al-Kulaini diakui berada di atas nubuwwah yang disebut sebagai "perjanjian yang mereka tetapkan dengan para Nabi", sebagaimana yang diriwayatkan oleh penulis kitab Al Basha'ir.
“Kami mendengar dari Al Hasan bin 'Ali bin An-Nu'man, ia mendengar dari Yahya bin Abu Zakariya bin 'Amr Az Zayyat yang mengatakan: "Aku mendengar dari ayahku dan ia mendengar dari Muhammad bin Sama'ah yang mendengar dari Faidh bin Abi Syaibah, berasal dari Muhammad bin Muslim yang mengatakan, bahwasanya ia mendengar Abu Ja'far berkata: Allah tabaraka wata'ala telah menetapkan perjanjian dengan para Nabi mengenai wilayah (keimaman)'Ali dan telah pula mengambil janji dari para Nabi tentang wilayah (keimaman) Ali itu." [Muhammad Abu Ja’far Ibnu Hasan Ibnu Faruh As-Shofar Al-Qumi,  Basha'irud Darajat, Mansurat Maktabah Ayatullah Al-Udmah Al-Murasinajafi, cet. Iran Lama, 1928 H  Bab IX, Jld II, hal. 73].
Demikian juga para Malaikat menurut Syiah juga telah mengambil janji atas wilayah. Penulis Al Basha'ir mengemukakan sebagai berikut:
“Kami mendengar dari Ahmad bin Muhammad yang mendengar dari Al Hasan bin 'Ali bin Fadhdhal, ia mendengar dari Muhammad bin Fudhail yagn mendengar dari Abush Shabah Al Kinaniy, bahwasanya Abu Ja'far berkata: "Demi Allah, di langit terdapat tujuh puluh jenis malaikat. Seandainya semua penduduk bumi berkumpul kemudian menghitung jumlah malaikat dari masing-masing jenis, mereka tidak akan dapat menghitungnya. Semua malaikat itu mempercayai wilayah (keimaman) kami.” [Basha'irud Darajat, Bab IV, Jilid II, hal. 87]. */bersambung bagian kedua
Penulis adalah peneliti Inpas (Institute Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar