Minggu, 11 Maret 2012

Sunni-Syiah: Perbedaan Aqidah!

Oleh: Bahrul Ulum
Dalam artikel sebelumnya telah menjelaskan, masalah Syiah – Sunni bukan perbedaan mahzab atau masalah khilafiyyah, tetapi perbedaan aqidah
BERDASARKAN riwayat ini Khomaini dalam Hukumah al-Islamiyah, mengatakan bahwa para Imam memiliki maqam (derajat) yang tidak bisa dicapai oleh para malaikat dan para Nabi yang diutus:
“Sesungguhnya Imam mempunyai kedudukan yang terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpian mendunia, di mana seisi alam ini tunduk di bawah wilayah dan kekuasaannya. Dan termasuk hal yang aksiomatis adalah bahwa para imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabin atau pun nabi yang diutus...”   [Khumaini, Al Hukumah al-Islamiyah. Durus Faqih, Iran 1389 H, hal. 52]
Bahkan dalam sebuah riwayat, semua mahluk juga mengambil janji mengenai Imamah. Al-Majlisi mencantumkan bab dengan judul: Bab bahwa Imam-imam itu lebih utama daripada para Nabi dan semua makhluk. Para Nabi, Malaikat dan semua makhluk diambil janji setianya untuk Imam-imam, dan bahwasanya diantara para Nabi bisa menjadi Ulul ‘Azmi karena mereka mencintai Imam-imam.  [Bihar Al-Anwar, 26/267]
Wilayah (keimaman) juga tidak hanya ditetapkan sebagai perjanjian dengan para Nabi dan Malaikat, tetapi juga diyakini sebagai amanat yang Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) tawarkan kepada langit dan bumi. Dalam hal ini Ibnu Babawaih berkata:
“Seandainya tidak ada mereka (para imam) maka Allah tidak akan menciptakan langit dan bumi, tidak pula surga dan neraka, Adam dan Hawa, juga Malaikat.” [Abu Ja’far Muhammad ibn Babawaih al-Qummy, I'tiqadat, Tahqiq oleh I’shom Abdu Sayid, Mukmatarah Al-Alami Alfiyah Syaikh Mufid, Iran,  hal. 93]
Dari berbagai riwayat tersebut, Syiah meyakini bahwa imamah merupakan bentuk konsep kepemimpinan yang mutlak di bawah otoritas Tuhan dengan menganugerahkan kekuasaan secara genealogis kepada utusan pembawa risalah-Nya sebagai pengejawantahan kekuasaan Allah dalam persoalan manusia.
Secara eksplisit juga diriwayatkan berita yang dinisbakan kepada Abu Ja'far bahwa imam-imam Syi’ah adalah wali perintah Allah, pembawa ilmu Allah dan penyimpan wahyu Allah. [Al-Kulaini, Ushul Al Kafi juz 1 hal 192]
Seseorang yang mengenal Allah namun tidak mengenal Imam, berarti imannya tidak sempurna. Hal ini dikemukakan dalam sebuah riwayat berasal dari Jabir yang mengatakan:
“Aku mendengar Abu Ja'far a.s. berkata: "Orang yang mengenal Allah dan bersembah sujud kepada-Nya hanyalah orang yang mengenal Allah dan mengenal Imam-Nya dari kalangan kami Ahlul Bait. Barang siapa yang tidak mengenal Allah dan tidak mengenal Imam dari kalangan kami Ahlul Bait, sesungguhnya orang itu bersembah sujud kepada selain Allah. Itu merupakan kesesatan."  [dalam Al Kafi, Kitab al Hujjah, Bab Mengenal Imam, hal. 181, Jilid I, cet. Teheran]
Pandangan tersebut didasarkan pada argumen bahwa Imamah bagi Syiah tidak hanya merupakan kepemimpinan duniawi saja, akan tetapi mencakup urusan ukhrawi. Ia tidak bisa dilahirkan dari musyawarah seperti halnya khalifah dalam Sunni. Sebab Imamah merupakan penerus kenabian yang dasar-dasarnya berada pada dali-dalil syara' dan dalil itu yang menentukan keterangkatan para Imam. Bahkan Allah tak akan mengutus seorang Nabi pun kecuali karenanya.  Allah yang menentukan orang yang akan memegang jabatan Imamah, dan Nabi pun berwasiat kepada orang yang dimaksud sebelum beliau wafat.
Konsekwensi dari hal ini yaitu semua keagamaan tidak sah tanpa melalui pintu para Imam. Kalau ada ajaran agama yang tidak melalui para Imam,  berarti ajaran tersebut tertolak. Nah, bagaimana seseorang masih mengatakan antara Syiah dan Sunni bedanya kecil, bahkan masih ada yang mengatakan perbedaan mahzab?.*
Penulis adalah peneliti Inpas (Institute Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar